Kang Syaichu

Motivation to Learn

Rabu, 15 Juni 2011

Cerita Singkat



Sesaat sebelum Upacara Bendera
 
Pagi itu, seperti biasa saya sudah hadir pagi-pagi karena bersiap menjadi Pembina Upacara dalam Apel Senin. Saya meminta para pengurus OSIS untuk menyiapkan perlengkapan upacara, termasuk sound system. Kebetulan tape deck yang biasa digunakan sebagai sound system sedang diperbaiki, jadi terpaksa menggunakan cadangan membrane speaker. Anak-anak biasa menyebut alat itu TOA (padahal merek).
Setelah semua terpasang, saya coba mengontrol kesiapan yang sudah dilakukan oleh pengurus OSIS. Biasanya dilakukan 15 – 30 menit sebelum bel tanda upacara berbunyi. Mang Pii, penjaga sekolah, terlihat sedang membersihkan halaman setiap kelas sebelum oleh siswa digunakan. Tiba-tiba, Mang Pii mendekati mic yang sudah terpasang dan mengambilnya. Kemudian berbicara melalui mic yang sudah siap pakai dengan lantang.
“ Hayoooooh!!! Pada mabok gadung kabeh yah!” katanya berkali-kali dengan lantang sekali.
Saya hanya tertawa saja, karena orang tua ini memang suka melucu. Dan saya menganggap kejadian biasa saja. Kemudian bel panjang berbunyi tanda upacara siap dimulai. Dan upacara pun berjalan lancar seperti biasa.
Setelah upacara selesai, sebagai Pembina Upacara, saya lebih dulu meninggalkan lapangan upacara dan langsung menunju ruangan guru. Sampai di ruang guru, saya melihat pak Ghozali sedang tertawa terbahak dengan rekan guru yang lain. Saya masih belum mengerti, topik pembiacaraan apa yang menyebabkan dia begitu tergelak. Kemudian, pak Ghozali menjelaskan pada saya.
“ Jang…(begitu dia biasa memanggil saya) ngerti nggak maksud mang Pii bicara lantang di mic tadi pagi? “ tanyanya.
“ Nggak…pak” jawab saya jujur.
Kemudian pak Ghozali menjelaskan semua kepada saya. Setelah saya paham, saya pun tidak bias menahan tawa bahkan ikut terbahak-bahak.
Ternyata, apa yang disampaikan mang Pii itu sebenarnya sedang menyindir guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang kebetulan bersebelahan dengan Madrasah Aliyah Pesantren. Selain itu dia juga menyindir banyak orang di sekitar rumahnya.
Kejadiannya adalah pada hari Sabtu, dua hari sebelum upacara pagi itu, murid-murid kelas VI MI sedang praktek keterampilan memasak. Mereka berkelompok untuk mempersiapkan masakannya masing-masing untuk dinilai oleh guru keterampilan. Naasnya, ada satu kelompok yang memasak sayur asam yang dicampur dengan Gadung (semacam ubi rambat yang beracun dan untuk dikonsumsinya harus disamak dulu agar hilang racunnya). Biasanya proses racunnya tidak langsung terasa tapi cukup lama.
Masalahnya, justru guru-guru MI banyak menyantap sayur beracun itu karena rasanya dianggap paling lumayan. Bahkan, karena berlebih sayur naas itu diberikan kepada mbok Mar yang tidak lain istri mang Pii yang punya warung makan. Lebih naas lagi, sayur itu dibagikan juga kepada beberapa tetangga mbok Mar. Nah, pada sore harinya terjadilah mendem (mabok karena racun tanaman seperti jamur, ubi dll) secara massal. Termasuk juga guru-guru MI yang mengkonsumsi sayur asam itu. Mereka semua baru pulih dari mendem sehari setelahnya (Minggu sore).
Jadi itulah alasan kenapa mang Pii berbicara lantang di membrane speaker keras-keras. Saya jadi tertawa sendiri kalau ingat cerita itu dari pak Ghozali.

Kang Syaichu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 15 Juni 2011

Cerita Singkat



Sesaat sebelum Upacara Bendera
 
Pagi itu, seperti biasa saya sudah hadir pagi-pagi karena bersiap menjadi Pembina Upacara dalam Apel Senin. Saya meminta para pengurus OSIS untuk menyiapkan perlengkapan upacara, termasuk sound system. Kebetulan tape deck yang biasa digunakan sebagai sound system sedang diperbaiki, jadi terpaksa menggunakan cadangan membrane speaker. Anak-anak biasa menyebut alat itu TOA (padahal merek).
Setelah semua terpasang, saya coba mengontrol kesiapan yang sudah dilakukan oleh pengurus OSIS. Biasanya dilakukan 15 – 30 menit sebelum bel tanda upacara berbunyi. Mang Pii, penjaga sekolah, terlihat sedang membersihkan halaman setiap kelas sebelum oleh siswa digunakan. Tiba-tiba, Mang Pii mendekati mic yang sudah terpasang dan mengambilnya. Kemudian berbicara melalui mic yang sudah siap pakai dengan lantang.
“ Hayoooooh!!! Pada mabok gadung kabeh yah!” katanya berkali-kali dengan lantang sekali.
Saya hanya tertawa saja, karena orang tua ini memang suka melucu. Dan saya menganggap kejadian biasa saja. Kemudian bel panjang berbunyi tanda upacara siap dimulai. Dan upacara pun berjalan lancar seperti biasa.
Setelah upacara selesai, sebagai Pembina Upacara, saya lebih dulu meninggalkan lapangan upacara dan langsung menunju ruangan guru. Sampai di ruang guru, saya melihat pak Ghozali sedang tertawa terbahak dengan rekan guru yang lain. Saya masih belum mengerti, topik pembiacaraan apa yang menyebabkan dia begitu tergelak. Kemudian, pak Ghozali menjelaskan pada saya.
“ Jang…(begitu dia biasa memanggil saya) ngerti nggak maksud mang Pii bicara lantang di mic tadi pagi? “ tanyanya.
“ Nggak…pak” jawab saya jujur.
Kemudian pak Ghozali menjelaskan semua kepada saya. Setelah saya paham, saya pun tidak bias menahan tawa bahkan ikut terbahak-bahak.
Ternyata, apa yang disampaikan mang Pii itu sebenarnya sedang menyindir guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang kebetulan bersebelahan dengan Madrasah Aliyah Pesantren. Selain itu dia juga menyindir banyak orang di sekitar rumahnya.
Kejadiannya adalah pada hari Sabtu, dua hari sebelum upacara pagi itu, murid-murid kelas VI MI sedang praktek keterampilan memasak. Mereka berkelompok untuk mempersiapkan masakannya masing-masing untuk dinilai oleh guru keterampilan. Naasnya, ada satu kelompok yang memasak sayur asam yang dicampur dengan Gadung (semacam ubi rambat yang beracun dan untuk dikonsumsinya harus disamak dulu agar hilang racunnya). Biasanya proses racunnya tidak langsung terasa tapi cukup lama.
Masalahnya, justru guru-guru MI banyak menyantap sayur beracun itu karena rasanya dianggap paling lumayan. Bahkan, karena berlebih sayur naas itu diberikan kepada mbok Mar yang tidak lain istri mang Pii yang punya warung makan. Lebih naas lagi, sayur itu dibagikan juga kepada beberapa tetangga mbok Mar. Nah, pada sore harinya terjadilah mendem (mabok karena racun tanaman seperti jamur, ubi dll) secara massal. Termasuk juga guru-guru MI yang mengkonsumsi sayur asam itu. Mereka semua baru pulih dari mendem sehari setelahnya (Minggu sore).
Jadi itulah alasan kenapa mang Pii berbicara lantang di membrane speaker keras-keras. Saya jadi tertawa sendiri kalau ingat cerita itu dari pak Ghozali.

Kang Syaichu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar