Kang Syaichu

Motivation to Learn

Kamis, 24 Februari 2011

Menikmati Hidup dengan Kata "JANGAN"


1. Jangan merusak diri dengan membandingkan diri kita dengan orang lain. Karena setiap kita pasti diciptakan sangat spesial.
2. Jangan menentukan tujuan kita berdasarkan apa yang orang lain anggap penting. Karena hanya kita yang tahu apa yang terbaik untuk kita.
3. Jangan meremehkan sesuatu yang begitu dekat dengan hati kita. Manfaatkan mereka karena memang Allah menciptakan mereka untuk kebahagiaan kita.
4. Jangan berlebihan memperhitungkan hidup kita di masa lalu maupun di masa depan. Karena bila saatnya tiba tidak ada yang sanggup menolak taqdir Allah, kita harus meninggalkan itu semua.
5. Jangan menyerah dalam menghadapi persoalan hidup. Karena tidak ada yang benar-benar kalah, sampai kita berhenti berusaha.
6. Jangan takut untuk mengakui bahwa kita kurang sempurna. Karena menutupi ketidak sempurnaan adalah belenggu yang menyebabkan kita tidak bisa terisi oleh kelebihan orang lain.
7. Jangan takut menghadapi risiko. Karena ketakutan menghadapi resiko, menutup jalan kita untuk menjadi berani.
8. Jangan mengunci cinta dalam hidupmu, dengan berkata tidak mungkin menemukan. Cara tercepat untuk menerima cinta adalah memberikan; cara tercepat kehilangan cinta adalah dengan memegangnya terlalu erat, dan cara terbaik untuk menjaga cinta adalah memberikan sayap untuknya berkembang.
9. Jangan berharap meraih keberhasilan begitu cepat. Karena, itu akan melupakan dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi/kembali.
10. Jangan lupa bahwa kebutuhan emosi terbesar dari seseorang adalah kebutuhan untuk merasa dihargai. Jadi menghargai orang lain sama saja dengan mengisi kebutuhan emosi terbesar kita sendiri.
11. Jangan takut untuk belajar dari siapa atau apa pun. Karena pengetahuan sangat ringan dan menjadi harta kita yang selalu dapat dibawa kemanapun dengan mudah.
12. Jangan membuang-buang waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Hidup bukanlah perlombaan, tetapi perjalanan yang harus dinikmati langkah demi langkah.

Baca seterusnya......

The Secret Power of Love




Rahasi Kekuatan Cinta
Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada hari perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya. (Jalaludin Rumi, Filsuf Sufi Balkh/Afganistan abad 12)
Hanya dengan cinta yang indah, kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan.” (Kahlil Gibran, Seniman, Penyair & Penulis Libanon abad 18)
Saya membaca dalam sebuah blog, bahwa salah seorang ahli beladiri terbesar Indonesia yaitu Subur Rahardja (Alm) pendiri PGB Bangau Putih pernah mengatakan sbb: “Cinta kasih adalah inti kekuatan daya hidup, inti kekuatan daya penyembuhan dan inti kekuatan daya pertumbuhan.” Kalau seorang ahli ilmu beladiri saja yang berdasarkan persepsi kita, identik dengan kekuatan dan kecepatan, ternyata mengatakan bahwa inti dari segala kekuatan itu adalah cinta kasih, tentulah tidak perlu diragukan lagi kebenarannya.
Juga seorang sahabat mengatakan bahwa kekuatan cinta kasih itu dapat melindungi kita dari segala macam bahaya dan serangan musuh! Katanya, “Bersihkan hati kamu dari segala ego sehingga dipenuhi oleh perasaan cinta kasih, maka akan ada perisai energi yang menyelubungi dan melindungi kamu sehingga semua niat jahat akan berbalik kepada diri mereka sendiri. Dan perasaan cinta kasih itu akan menarik lebih banyak situasi, orang, dan peluang yang akan membuat kamu merasakan lebih banyak lagi cinta kasih.”(oleh love_misticus)
Saya juga pernah membaca bahwa kekuatan cinta kasih itu membuat kita menjadi tidak dapat disakiti seperti dicontohkan oleh St. Fransiskus dari Asisi bahwa dengan kehadirannya saja suatu daerah yang bergejolak bisa menjadi tenang karena hatinya yang dipenuhi cinta kasih memancar dan bergema ke lingkungan sekelilingnya. Bahkan hewan-hewan buas pun menjadi jinak di hadapannya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas maka cinta kasih itu layak untuk kita praktikkan dalam kehidupan kita, dalam pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Biarlah keberadaan kita di dunia ini dapat memberikan sumbangsih untuk menjadikan dunia ini menjadi lebih baik dengan keberadaan kita yaitu dengan menyebarkan kebaikan, pikiran dan perasaan cinta kasih.
Semalam, saya bermimpi tentang seekor burung merpati putih yang hinggap di atas kepala. Menurut kakak, burung merpati putih adalah lambang dari roh cinta kasih.
Izinkan saya menutup artikel ini dengan kata-kata yang abadi dari Emmet Fox: Hanya dengan cinta, kesulitan dapat diatasi; sakit dapat diobati; pintu dapat dibuka; teluk dapat dijembatani; dinding dapat diruntuhkan; dosa dapat diampuni.
Tak peduli betapa tertanamnya kesulitan, betapa tanpa harapan di masa depan, betapa kacau-balaunya keruwetan, betapa besarnya kesalahan, cinta dapat mengatasi seluruhnya. Bila Anda dapat memberikan cukup cinta, Anda akan menjadi insan paling berbahagia dan berkuasa di dunia.
Salam,
Penulis
Ana Hakim

Baca seterusnya......

Jumat, 04 Februari 2011

Keluarga dan Adikku

Aku Menangis untuk Adikku Enam Kali

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak
tanah kering kuning,dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku
mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan:
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata:
"Ayah, aku yang melakukannya! "
Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi:
"Kamu sudah belajar mencuri dari
rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu
malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk
adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya
tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan
tangan kecilnya dan berkata:
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika
ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas
propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut:
"Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas:
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata:
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya:
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang
begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di
jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk
setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku
selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata:
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan
harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di
atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di
atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai
suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya dilokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun
ketiga (di universitas) .

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan:
" Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !"
Mengapa ada seorang penduduk dusun
mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh
badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya:
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum:
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa
yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu? "
Aku merasa terenyuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-kataku:
"Aku tidak perduli omongan siapa pun!Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan:
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih
lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku
ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di
depan ibuku:
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum:
"Itu adalah adikmu yang pulang
awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut
lukanya:
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu,
ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada
kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras
turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di
kota . Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang
dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan:
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai
manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran
tersebut.Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat
sengatan listrik,dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi
menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu:
"Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya:
"Pikirkan kakak ipar, ia baru saja
jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata,
dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika
ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa
yang paling kamu hormati dan kasihi?"
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,"Kakakku. "

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat:
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari,
Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari
itu,saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata
begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling
berbahagia ini, didepan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran
turun dari wajahku seperti sungai.
Pengirim : Annis
Alamat : FPPB UBB

Baca seterusnya......

Rabu, 02 Februari 2011

Pak Bayan dan Seekor Keledai

Di sebuah dusun terpencil, pada zaman dulu, tinggalah sebuah keluarga dengan seorang anak. Sehari-hari, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia memelihara keledai baik untuk dijual atau pun bertani. Anaknya yang semata wayang, begitu sangat ia sayangi. Hingga kemana pun pergi bapaknya selalu mengajak serta.
Suatu ketika, ia merasa keledainya sudah pantas untuk dijual ke pasar. Dan esok paginya, ia bersiap membawa keledai itu ke pasar. Tidak lupa, ia mengajak putra kesayangannya. Karena badan keledai tidak terlalu besar, ia memutuskan untuk menuntun kuda itu dan berjalan kaki menuju pasar. Namun di tengah perjalanan ia berpapasan dengan tetangganya.
“ Mau kemana pak Bayan?” Tanya tetangganya.
“ Mau ke pasar. Aku rasa keledai ini sudah layak untuk dijual”. Jawabnya.
“ Ya Tuhan…pak Bayan ini bagaimana, tega-teganya membawa anak sekecil itu ke pasar berjalan kaki. Kan ada keledai, naikkan saja anak itu di atas keledai, kasihan… biarlah pak Bayan saja yang berjalan kaki “ jelas tetangganya yang merasa iba pada anak pak Bayan.
Oh…betul juga kata tetanggaku, begitu pikir pak Bayan. Akhirnya anaknya ia naikkan di atas keledai dan melanjutkan perjalanan yang memang cukup jauh ke pasar. Tiba-tiba, kembali ia bertemu dengan tetangga yang lain yang baru pulang dari pasar.
“ Pak bayan…pak Bayan…Bapak ini bagaimana, mengapa harus tersiksa oleh keledai. Keledai itu untuk dimanfaatkan oleh kita, kok capek-capek berjalan sejauh itu. Naikki saja keledai itu…! Keledai ya memang fungsinya untuk itu…” jelas tetangganya yang ini.
Pak Bayan pun berubah pikiran. Di samping karena lelah berjalan ia juga berpikir bahwa apa yang dikatakan tengga yang satu ini juga benar. Akhirnya ia pun naik di atas keledai mengikuti saran tetangganya, sehingga keledai itu dinaikki oleh dua orang. Tetapi, sekali lagi ia berpapasan dengan orang yang ia kenal. Dan orang ini pun berkomentar.
“ Keledai sekecil itu kok dinaikki berdua, pak. Apa bukan menyiksa hewan namanya…terus kalau sampai pasar kudanya kelelahan dan nggak bisa dijual gimana?” katanya bertanya heran.
Pak Bayan pun dibuat bingung luar biasa. Apa yang sebaiknya ia lakukan. Dan pendapat mana yang harus ia turuti. Karena saking bingungnya, ia putuskan memanggul keledai itu di pundaknya sampai ke pasar.
------------------------
Dari cerita Pak Bayan,  kita mendapat pelajaran berharga, betapa melelahkannya bila kita harus mengikuti saran setiap orang. Padahal sesungguhnya kitalah yang paling tahu yang terbaik untuk kita. Tetapi, seringkali kita tidak yakin dengan pikiran kita sendiri. Dan saran orang lain kepada kita tidak harus mengikat kita, sehingga begitu sulit untuk bertindak.
Kesimpulannya, kita tidak harus terombang ambing oleh sekian banyak pendapat. Pilihlah yang memang tepat untuk kita dan jalani secara konsisten serta penuh percaya diri. Karena pada hakikatnya pendapat setiap orang dipengaruhi oleh latar belakangnya. Dan kitalah yang paling tahu latar belakang kita sendiri. Semoga bermanfaat…!!! Wallahu A’lam bishshawab.


Kang Syaichu

Baca seterusnya......

Kamis, 24 Februari 2011

Menikmati Hidup dengan Kata "JANGAN"


1. Jangan merusak diri dengan membandingkan diri kita dengan orang lain. Karena setiap kita pasti diciptakan sangat spesial.
2. Jangan menentukan tujuan kita berdasarkan apa yang orang lain anggap penting. Karena hanya kita yang tahu apa yang terbaik untuk kita.
3. Jangan meremehkan sesuatu yang begitu dekat dengan hati kita. Manfaatkan mereka karena memang Allah menciptakan mereka untuk kebahagiaan kita.
4. Jangan berlebihan memperhitungkan hidup kita di masa lalu maupun di masa depan. Karena bila saatnya tiba tidak ada yang sanggup menolak taqdir Allah, kita harus meninggalkan itu semua.
5. Jangan menyerah dalam menghadapi persoalan hidup. Karena tidak ada yang benar-benar kalah, sampai kita berhenti berusaha.
6. Jangan takut untuk mengakui bahwa kita kurang sempurna. Karena menutupi ketidak sempurnaan adalah belenggu yang menyebabkan kita tidak bisa terisi oleh kelebihan orang lain.
7. Jangan takut menghadapi risiko. Karena ketakutan menghadapi resiko, menutup jalan kita untuk menjadi berani.
8. Jangan mengunci cinta dalam hidupmu, dengan berkata tidak mungkin menemukan. Cara tercepat untuk menerima cinta adalah memberikan; cara tercepat kehilangan cinta adalah dengan memegangnya terlalu erat, dan cara terbaik untuk menjaga cinta adalah memberikan sayap untuknya berkembang.
9. Jangan berharap meraih keberhasilan begitu cepat. Karena, itu akan melupakan dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi/kembali.
10. Jangan lupa bahwa kebutuhan emosi terbesar dari seseorang adalah kebutuhan untuk merasa dihargai. Jadi menghargai orang lain sama saja dengan mengisi kebutuhan emosi terbesar kita sendiri.
11. Jangan takut untuk belajar dari siapa atau apa pun. Karena pengetahuan sangat ringan dan menjadi harta kita yang selalu dapat dibawa kemanapun dengan mudah.
12. Jangan membuang-buang waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Hidup bukanlah perlombaan, tetapi perjalanan yang harus dinikmati langkah demi langkah.

The Secret Power of Love




Rahasi Kekuatan Cinta
Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada hari perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya. (Jalaludin Rumi, Filsuf Sufi Balkh/Afganistan abad 12)
Hanya dengan cinta yang indah, kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan.” (Kahlil Gibran, Seniman, Penyair & Penulis Libanon abad 18)
Saya membaca dalam sebuah blog, bahwa salah seorang ahli beladiri terbesar Indonesia yaitu Subur Rahardja (Alm) pendiri PGB Bangau Putih pernah mengatakan sbb: “Cinta kasih adalah inti kekuatan daya hidup, inti kekuatan daya penyembuhan dan inti kekuatan daya pertumbuhan.” Kalau seorang ahli ilmu beladiri saja yang berdasarkan persepsi kita, identik dengan kekuatan dan kecepatan, ternyata mengatakan bahwa inti dari segala kekuatan itu adalah cinta kasih, tentulah tidak perlu diragukan lagi kebenarannya.
Juga seorang sahabat mengatakan bahwa kekuatan cinta kasih itu dapat melindungi kita dari segala macam bahaya dan serangan musuh! Katanya, “Bersihkan hati kamu dari segala ego sehingga dipenuhi oleh perasaan cinta kasih, maka akan ada perisai energi yang menyelubungi dan melindungi kamu sehingga semua niat jahat akan berbalik kepada diri mereka sendiri. Dan perasaan cinta kasih itu akan menarik lebih banyak situasi, orang, dan peluang yang akan membuat kamu merasakan lebih banyak lagi cinta kasih.”(oleh love_misticus)
Saya juga pernah membaca bahwa kekuatan cinta kasih itu membuat kita menjadi tidak dapat disakiti seperti dicontohkan oleh St. Fransiskus dari Asisi bahwa dengan kehadirannya saja suatu daerah yang bergejolak bisa menjadi tenang karena hatinya yang dipenuhi cinta kasih memancar dan bergema ke lingkungan sekelilingnya. Bahkan hewan-hewan buas pun menjadi jinak di hadapannya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas maka cinta kasih itu layak untuk kita praktikkan dalam kehidupan kita, dalam pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Biarlah keberadaan kita di dunia ini dapat memberikan sumbangsih untuk menjadikan dunia ini menjadi lebih baik dengan keberadaan kita yaitu dengan menyebarkan kebaikan, pikiran dan perasaan cinta kasih.
Semalam, saya bermimpi tentang seekor burung merpati putih yang hinggap di atas kepala. Menurut kakak, burung merpati putih adalah lambang dari roh cinta kasih.
Izinkan saya menutup artikel ini dengan kata-kata yang abadi dari Emmet Fox: Hanya dengan cinta, kesulitan dapat diatasi; sakit dapat diobati; pintu dapat dibuka; teluk dapat dijembatani; dinding dapat diruntuhkan; dosa dapat diampuni.
Tak peduli betapa tertanamnya kesulitan, betapa tanpa harapan di masa depan, betapa kacau-balaunya keruwetan, betapa besarnya kesalahan, cinta dapat mengatasi seluruhnya. Bila Anda dapat memberikan cukup cinta, Anda akan menjadi insan paling berbahagia dan berkuasa di dunia.
Salam,
Penulis
Ana Hakim

Jumat, 04 Februari 2011

Keluarga dan Adikku

Aku Menangis untuk Adikku Enam Kali

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak
tanah kering kuning,dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku
mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli
sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan:
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata:
"Ayah, aku yang melakukannya! "
Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi:
"Kamu sudah belajar mencuri dari
rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu
malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk
adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya
tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan
tangan kecilnya dan berkata:
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika
ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas
propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut:
"Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas:
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata:
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya:
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang
begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di
jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk
setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku
selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata:
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan
harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di
atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di
atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai
suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya dilokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun
ketiga (di universitas) .

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan:
" Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !"
Mengapa ada seorang penduduk dusun
mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh
badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya:
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum:
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa
yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu? "
Aku merasa terenyuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-kataku:
"Aku tidak perduli omongan siapa pun!Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan:
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih
lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku
ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di
depan ibuku:
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum:
"Itu adalah adikmu yang pulang
awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada
tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut
lukanya:
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu,
ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada
kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras
turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di
kota . Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang
dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan:
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai
manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran
tersebut.Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas
sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat
sengatan listrik,dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi
menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu:
"Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya:
"Pikirkan kakak ipar, ia baru saja
jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata,
dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika
ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa
yang paling kamu hormati dan kasihi?"
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,"Kakakku. "

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat:
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari,
Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari
itu,saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata
begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling
berbahagia ini, didepan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran
turun dari wajahku seperti sungai.
Pengirim : Annis
Alamat : FPPB UBB

Rabu, 02 Februari 2011

Pak Bayan dan Seekor Keledai

Di sebuah dusun terpencil, pada zaman dulu, tinggalah sebuah keluarga dengan seorang anak. Sehari-hari, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia memelihara keledai baik untuk dijual atau pun bertani. Anaknya yang semata wayang, begitu sangat ia sayangi. Hingga kemana pun pergi bapaknya selalu mengajak serta.
Suatu ketika, ia merasa keledainya sudah pantas untuk dijual ke pasar. Dan esok paginya, ia bersiap membawa keledai itu ke pasar. Tidak lupa, ia mengajak putra kesayangannya. Karena badan keledai tidak terlalu besar, ia memutuskan untuk menuntun kuda itu dan berjalan kaki menuju pasar. Namun di tengah perjalanan ia berpapasan dengan tetangganya.
“ Mau kemana pak Bayan?” Tanya tetangganya.
“ Mau ke pasar. Aku rasa keledai ini sudah layak untuk dijual”. Jawabnya.
“ Ya Tuhan…pak Bayan ini bagaimana, tega-teganya membawa anak sekecil itu ke pasar berjalan kaki. Kan ada keledai, naikkan saja anak itu di atas keledai, kasihan… biarlah pak Bayan saja yang berjalan kaki “ jelas tetangganya yang merasa iba pada anak pak Bayan.
Oh…betul juga kata tetanggaku, begitu pikir pak Bayan. Akhirnya anaknya ia naikkan di atas keledai dan melanjutkan perjalanan yang memang cukup jauh ke pasar. Tiba-tiba, kembali ia bertemu dengan tetangga yang lain yang baru pulang dari pasar.
“ Pak bayan…pak Bayan…Bapak ini bagaimana, mengapa harus tersiksa oleh keledai. Keledai itu untuk dimanfaatkan oleh kita, kok capek-capek berjalan sejauh itu. Naikki saja keledai itu…! Keledai ya memang fungsinya untuk itu…” jelas tetangganya yang ini.
Pak Bayan pun berubah pikiran. Di samping karena lelah berjalan ia juga berpikir bahwa apa yang dikatakan tengga yang satu ini juga benar. Akhirnya ia pun naik di atas keledai mengikuti saran tetangganya, sehingga keledai itu dinaikki oleh dua orang. Tetapi, sekali lagi ia berpapasan dengan orang yang ia kenal. Dan orang ini pun berkomentar.
“ Keledai sekecil itu kok dinaikki berdua, pak. Apa bukan menyiksa hewan namanya…terus kalau sampai pasar kudanya kelelahan dan nggak bisa dijual gimana?” katanya bertanya heran.
Pak Bayan pun dibuat bingung luar biasa. Apa yang sebaiknya ia lakukan. Dan pendapat mana yang harus ia turuti. Karena saking bingungnya, ia putuskan memanggul keledai itu di pundaknya sampai ke pasar.
------------------------
Dari cerita Pak Bayan,  kita mendapat pelajaran berharga, betapa melelahkannya bila kita harus mengikuti saran setiap orang. Padahal sesungguhnya kitalah yang paling tahu yang terbaik untuk kita. Tetapi, seringkali kita tidak yakin dengan pikiran kita sendiri. Dan saran orang lain kepada kita tidak harus mengikat kita, sehingga begitu sulit untuk bertindak.
Kesimpulannya, kita tidak harus terombang ambing oleh sekian banyak pendapat. Pilihlah yang memang tepat untuk kita dan jalani secara konsisten serta penuh percaya diri. Karena pada hakikatnya pendapat setiap orang dipengaruhi oleh latar belakangnya. Dan kitalah yang paling tahu latar belakang kita sendiri. Semoga bermanfaat…!!! Wallahu A’lam bishshawab.


Kang Syaichu