Di sisi yang lain, budaya luhur yang begitu mendasar yang harus dimiliki oleh setiap inividu, seperti kejujuran, malu, dan taat aturan/norma semakin ditinggalkan. Ironisnya lagi, figur-figur yang seharusnya menjadi teladan seperti pejabat publik, wakil rakyat, dan para pesohor kita seperti berlomba saling mendahului untuk meninggalkannya. Bahkan nyaris setiap saat hadir di ruangan kita pemberitaan tentang upaya merendahkan dan meninggalkan budaya tersebut. Sehingga menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat kecil di tengah kejenuhan adalah mencari figur lain yang sanggup mengobati kejenuhan dan kebuntuan.
Oleh sebab itulah kehadiran Briptu Norman bak setetes air di tengah gurun. Asal-usulnya, pangkatnya, kepolosannya dan prosesnya menjadi selebriti dadakan adalah obat bagi dahaga masyarakat akan kebutuhan hiburan. Kehadirannya sanggup melupakan perilaku para oknum pejabat yang kehilangan budaya malu dan kasus-kasus korupsi yang susul menyusul. Selebritas Briptu Norman seperti mewakili “kemenangan” budaya wong cilik.
Jadi, fenomena Briptu norman hakikatnya sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi perkembangan budaya kita. Kehadirannya tidak lebih sekedar obat untuk sejenak melupakan beban yang kian hari kian menghimpit. Ada fenomena lain yang jauh lebih memprihatinkan, bagaimana menguatkan kembali budaya malu, kejujuran, dan taat aturan/norma. Dan fenomena ini jauh lebih sulit dihapuskan karena dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial “terhormat”. (16/11/2011)
Kang Syaichu Baca seterusnya......