Kang Syaichu

Motivation to Learn

Kamis, 30 Juni 2011



Menikmati Ketidakberadaan
Beberapa waktu yang lalu, saya ketemu dengan teman lama waktu SMA. Dari penampilannya dia terlihat cukup sukses. Setidaknya, terlihat dari mobil yang dia pakai, merk terkenal dan keluaran terbaru. Karena lama tidak bertemu, jadilah nostalgia berulang dari cerita kami berdua. Termasuk menceritakan keberhasilan dia sampai saat ini. Ternyata, dia berbisnis jual beli mobil. Usahanya semakin berkembang pesat karena juga didukung banyak lembaga keuangan. Sebagai teman saya bangga melihat keberhasilannya, karena berharap bisa menjadi motivasi bagi saya ke depan. Namun, pada akhir pembicaraan kami, saya agak tidak nyaman dengan apa yang dia ucapkan kepada saya.
“Ayo….dong bangkit usaha, masa nggak bosan hidup miskin terus… Orang lain sudah mulai berpikir bagaimana (maaf) kotoran bisa jadi uang, kamu…begitu-begitu aja..hahaha”. katanya berseloroh.
“ Ya doanya saja lah, siapa sih yang nggak ingin kaya….” Jawab saya.
Sebenarnya apa yang teman saya sampaikan tidak ada yang salah. Hanya saja saya merasa tidak nyaman karena dia melihat saya tidak ada yang berubah. Padahal untuk bisa survive seperti sekarang, bagi saya merupakan prubahan yang luar biasa. Tapi saya tetap berharap bahwa maksud teman saya adalah memotivasi saya, bukan tidak menghargai apa yang telah saya capai.
Meski begitu, saya tetap berusaha mencari hikmah dari pertemuan yang berharga tersebut. Karena saya meyakini bahwa setiap peristiwa selalu saja memberikan pelajaran hidup buat kita. Termasuk pertemuan kecil yang saya ceritakan di atas. Salah satu pelajaran yang saya dapat, sebagian besar orang ternyata menganggap kemiskinan memang sangat memalukan. Di sisi lain, setiap kita mempercayai bahwa kemiskinan bisa menjadi ujian atau juga hukuman. Kita juga memahami bahwa kesabaran dan keikhlasan kunci untuk menerima ujian yang Allah berikan kepada kita.
Ternyata saya mendapat pelajaran bahwa kita harus mempunyai mental dan kesiapan untuk berjuang hidup dan berani hidup. Karena kemajuan teknologi dan peradaban manusia kadang-kadang menafikan sunatullah. Kita akan sulit mengukur kekayaan seseorang kalau tidak karena adanya kemiskinan. Kita juga akan sulit mengukur tingkat cahaya di suatu tempat kalau tidak karena adanya gelap. Begitulah ketentuannya, kehidupan memang berpasangan dan bersifat kontradiktif.
Jadi, bersiap-siap secara mental untuk ‘menikmati’ kemiskinan menjadi jauh lebih penting dari pada berkhayal tentang kekayaan. Semakin siap mental seseorang menikmati ketidakberadaan, maka semakin memperjelas kualitas hidup seseorang. Bahkan, semakin mempertegas pencapaian keberhasilan seseorang terhadap tujuannya yang hakiki. Kesiapan mental itulah yang semakin mendekatkan manusia kepada Robb, yang menjadi Penguasa bagi seluruh alam.
Saya teringat pesan orang tua dulu, lebih baik menangis di masa muda untuk tersenyum di masa tua. Dari pada tersenyum di masa muda dan menangis di masa tua. Menikmati ketidakberadaan memang butuh perjuangan dan keberanian. Dan kembali kepada kuncinya SABAR dan IKHLAS. Sehingga, kemiskinan bukan sesuatu yang memalukan tetapi sesuatu yang harus dinikmati. Begitu pun kekayaan bukan sesuatu yang harus dibanggakan karena setiap saat Allah Maha Berkehendak, termasuk mengambilnya kembali… Wallahu a’lam bishshawab.

Kang Syaichu

Baca seterusnya......

Rabu, 15 Juni 2011

Cerita Singkat



Sesaat sebelum Upacara Bendera
 
Pagi itu, seperti biasa saya sudah hadir pagi-pagi karena bersiap menjadi Pembina Upacara dalam Apel Senin. Saya meminta para pengurus OSIS untuk menyiapkan perlengkapan upacara, termasuk sound system. Kebetulan tape deck yang biasa digunakan sebagai sound system sedang diperbaiki, jadi terpaksa menggunakan cadangan membrane speaker. Anak-anak biasa menyebut alat itu TOA (padahal merek).
Setelah semua terpasang, saya coba mengontrol kesiapan yang sudah dilakukan oleh pengurus OSIS. Biasanya dilakukan 15 – 30 menit sebelum bel tanda upacara berbunyi. Mang Pii, penjaga sekolah, terlihat sedang membersihkan halaman setiap kelas sebelum oleh siswa digunakan. Tiba-tiba, Mang Pii mendekati mic yang sudah terpasang dan mengambilnya. Kemudian berbicara melalui mic yang sudah siap pakai dengan lantang.
“ Hayoooooh!!! Pada mabok gadung kabeh yah!” katanya berkali-kali dengan lantang sekali.
Saya hanya tertawa saja, karena orang tua ini memang suka melucu. Dan saya menganggap kejadian biasa saja. Kemudian bel panjang berbunyi tanda upacara siap dimulai. Dan upacara pun berjalan lancar seperti biasa.
Setelah upacara selesai, sebagai Pembina Upacara, saya lebih dulu meninggalkan lapangan upacara dan langsung menunju ruangan guru. Sampai di ruang guru, saya melihat pak Ghozali sedang tertawa terbahak dengan rekan guru yang lain. Saya masih belum mengerti, topik pembiacaraan apa yang menyebabkan dia begitu tergelak. Kemudian, pak Ghozali menjelaskan pada saya.
“ Jang…(begitu dia biasa memanggil saya) ngerti nggak maksud mang Pii bicara lantang di mic tadi pagi? “ tanyanya.
“ Nggak…pak” jawab saya jujur.
Kemudian pak Ghozali menjelaskan semua kepada saya. Setelah saya paham, saya pun tidak bias menahan tawa bahkan ikut terbahak-bahak.
Ternyata, apa yang disampaikan mang Pii itu sebenarnya sedang menyindir guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang kebetulan bersebelahan dengan Madrasah Aliyah Pesantren. Selain itu dia juga menyindir banyak orang di sekitar rumahnya.
Kejadiannya adalah pada hari Sabtu, dua hari sebelum upacara pagi itu, murid-murid kelas VI MI sedang praktek keterampilan memasak. Mereka berkelompok untuk mempersiapkan masakannya masing-masing untuk dinilai oleh guru keterampilan. Naasnya, ada satu kelompok yang memasak sayur asam yang dicampur dengan Gadung (semacam ubi rambat yang beracun dan untuk dikonsumsinya harus disamak dulu agar hilang racunnya). Biasanya proses racunnya tidak langsung terasa tapi cukup lama.
Masalahnya, justru guru-guru MI banyak menyantap sayur beracun itu karena rasanya dianggap paling lumayan. Bahkan, karena berlebih sayur naas itu diberikan kepada mbok Mar yang tidak lain istri mang Pii yang punya warung makan. Lebih naas lagi, sayur itu dibagikan juga kepada beberapa tetangga mbok Mar. Nah, pada sore harinya terjadilah mendem (mabok karena racun tanaman seperti jamur, ubi dll) secara massal. Termasuk juga guru-guru MI yang mengkonsumsi sayur asam itu. Mereka semua baru pulih dari mendem sehari setelahnya (Minggu sore).
Jadi itulah alasan kenapa mang Pii berbicara lantang di membrane speaker keras-keras. Saya jadi tertawa sendiri kalau ingat cerita itu dari pak Ghozali.

Kang Syaichu

Baca seterusnya......

Senin, 23 Mei 2011

Fenomena Briptu Norman


Fenomena Briptu Norman dan Budaya Kita
Akhir-akhir ini orang-orang ramai memperbincangkan tentang Briptu Norman. Pro dan kotra terus berlanjut, bahkan ada kecenderungan sudah masuk ke wilayah pribadi sang anggota Brimod tersebut. Seperti biasa, dengan segala argument masing-masing menyorotinya dari berbagai sudut, termasuk sudut budaya. Salah satu pendapat yang menarik adalah fenomena Chaiya-chaiya Briptu Norman menunjukkan bahwa kita seperti kehilangan jati diri bangsa. Kita mengagung-agungkan budaya bangsa lain. Sementara, kita dianggap melupakan warisan budaya leluhur kita sendiri. Sebenarnya pendapat tersebut sah-sah saja di tengah-tengah suasana kebebasan berpendapat yang sedemikian terbuka ini. Masalah sebenarnya bukan pada benarkah masyarakat telah kehilangan kebanggaan terhadap budaya kita sendiri. Tetapi, apakah memang budaya kita mendapat ruang pengembangan yang proporsional? Suka tidak suka, ruang pengembangan budaya masyarakat belum proporsional. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan pengembangan budaya dalam kebijakannya sama sekali belum menyentuh secara signifikan pembangunan budaya kita. Kebijakan yang ada sebatas menjaga apa yang telah “jadi” dan sangat menonjol di masyarakat kita maupun di luar negeri. Selebihnya, menjadi tanggung jawab masyarakat untuk mengembangkannya. Sementara, kondisi sebagian besar masyarakat kita saat ini, kebutuhan dan perhatian akan pengembangan budaya masih merupakan kebutuhan lux. Bagi mereka memenuhi kebutuhan primer saja masih harus berjuang mati-matian untuk meraihnya.
Di sisi yang lain, budaya luhur yang begitu mendasar yang harus dimiliki oleh setiap inividu, seperti kejujuran, malu, dan taat aturan/norma semakin ditinggalkan. Ironisnya lagi, figur-figur yang seharusnya menjadi teladan seperti pejabat publik, wakil rakyat, dan para pesohor kita seperti berlomba saling mendahului untuk meninggalkannya. Bahkan nyaris setiap saat hadir di ruangan kita pemberitaan tentang upaya merendahkan dan meninggalkan budaya tersebut. Sehingga menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat kecil di tengah kejenuhan adalah mencari figur lain yang sanggup mengobati kejenuhan dan kebuntuan.
Oleh sebab itulah kehadiran Briptu Norman bak setetes air di tengah gurun. Asal-usulnya, pangkatnya, kepolosannya dan prosesnya menjadi selebriti dadakan adalah obat bagi dahaga masyarakat akan kebutuhan hiburan. Kehadirannya sanggup melupakan perilaku para oknum pejabat yang kehilangan budaya malu dan kasus-kasus korupsi yang susul menyusul. Selebritas Briptu Norman seperti mewakili “kemenangan” budaya wong cilik.
Jadi, fenomena Briptu norman hakikatnya sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi perkembangan budaya kita. Kehadirannya tidak lebih sekedar obat untuk sejenak melupakan beban yang kian hari kian menghimpit. Ada fenomena lain yang jauh lebih memprihatinkan, bagaimana menguatkan kembali budaya malu, kejujuran, dan taat aturan/norma. Dan fenomena ini jauh lebih sulit dihapuskan karena dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial “terhormat”. (16/11/2011)

Kang Syaichu

Baca seterusnya......

Rabu, 16 Maret 2011

Mengenal Soichiro Honda



The Owner of Honda
 
"Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", Soichiro Honda

Pernakah Anda tahu, sang pendiri "kerajaan" Honda - Soichiro Honda – sebelum sukses diraihnya ia banyak mengalami kegagalan? Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. "Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda," tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.
Kecintaannya kepada mesin, mungkin 'warisan' dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya.

Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah - pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan

pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. "Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya," ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat.

Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947, setelah perang Jepang kekurangan bensin.

Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, "sepeda motor" – cikal bakal lahirnya mobil Honda - itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi "raja" jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. "Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru. Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.


5 Resep keberhasilan Honda :

* Selalu berambisi dan berjiwa muda.
* Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
* Senangi pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja senyaman mungkin.
* Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
* Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.
Sumber : awalsholeh.blogspot.com

Baca seterusnya......

Jumat, 04 Maret 2011

Sepak Bola Kita

Sepak Bola Nasional yang Bikin Stress
 
Menyimak hingar bingar pemilihan ketua umum PSSI, jadi ikut stress. Padahal olah raga, apalagi sepak bola hakikatnya di samping untuk kesehatan fisik tetapi juga untuk kesehatan rohani. Sepak bola saat ini telah menjadi sarana pemenuhan kebutuhan rohani. Banyak aspek yang mendukung untuk menunjang kebutuhan rohani kita, hiburan, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, nasionalisme dan sebagainya.
Tetapi, di negeri tempat kita hidup, kalau kita mengikuti terus perkembangan sepak bola kita malah sebaliknya. Sepak bola nasional telah menjadi penyumbang stress yang efektif sekaligus menurunkan kecerdasan intelektual dan emosi. Setiap saat kita disuguhkan dagelan yang menurunkan dan merendahkan martabat. Seolah-olah kita hanya sebagai penonton yang sesekali bersorak atau kecewa menahan nafas karena kekalahan. Yang lebih lucu lagi, bukan pemain bola yang memainkan dagelan itu, tetapi para pengurusnya. Prestasi dan sportifitas hanya dongeng dari sebuah visi misi. Lebih naïf lagi, tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas carut marut ini. Semua merasa benar, maknanya public yang salah, aneh kan?.
Kita semua cemas, jangan-jangan Negara memang menjelang bangkrut. Jangankan mengurusi peliknya kesulitan yang dialami masyarakat secara keseluruhan, ‘ngurusi’ bola yang bisa melepaskan kepenatan masyarakat dari beban yang terus menghimpit saja, sudah sulit didapat.
Kemarin sore, saya ‘tambah nganggur’ melihat anak-anak main bola di lapangan desa. Mereka begitu semangatnya, bahkan masing-masing anak memainkan dirinya sebagai idola mereka. Ada yang mengaku sebagai Christian Gonzales, Irfan Bachdim, atau Eka Ramdani. Termasuk menirukan gaya mereka saat merayakan gol ke gawang lawan. Saya jadi tersenyum sendiri melihat keceriaan mereka, tetapi sekaligus kecewa. Sebab mereka belum paham bahwa sepak bola nasional kebanggaannya sedang kronis. Kalau saja mereka tahu ruwetnya perkembangan sepak bola kita. Jangan-jangan akan berubah benci terhadap sepak bola. Mudah-mudahan tidak seburuk itu dampaknya.
Okelah kalau begitu….!!!!, yang penting harapan tidak boleh mati. Sepak bola nasional milik kita semua. Dan kita semua berhak mendapatkan yang terbaik dari perkembangan sepak bola kita. Kita nggak perlu perlu tersinggung kalau Negara tetangga mentertawakan kita, karena kita mungkin pantas untuk ditertawakan. So, masing-masing kita, introspeksi diri saja, mudah-mudahan sepak bola kembali pada fungsi yang sebenarnya, amiin.
Kang Ujang

Baca seterusnya......

Kamis, 30 Juni 2011



Menikmati Ketidakberadaan
Beberapa waktu yang lalu, saya ketemu dengan teman lama waktu SMA. Dari penampilannya dia terlihat cukup sukses. Setidaknya, terlihat dari mobil yang dia pakai, merk terkenal dan keluaran terbaru. Karena lama tidak bertemu, jadilah nostalgia berulang dari cerita kami berdua. Termasuk menceritakan keberhasilan dia sampai saat ini. Ternyata, dia berbisnis jual beli mobil. Usahanya semakin berkembang pesat karena juga didukung banyak lembaga keuangan. Sebagai teman saya bangga melihat keberhasilannya, karena berharap bisa menjadi motivasi bagi saya ke depan. Namun, pada akhir pembicaraan kami, saya agak tidak nyaman dengan apa yang dia ucapkan kepada saya.
“Ayo….dong bangkit usaha, masa nggak bosan hidup miskin terus… Orang lain sudah mulai berpikir bagaimana (maaf) kotoran bisa jadi uang, kamu…begitu-begitu aja..hahaha”. katanya berseloroh.
“ Ya doanya saja lah, siapa sih yang nggak ingin kaya….” Jawab saya.
Sebenarnya apa yang teman saya sampaikan tidak ada yang salah. Hanya saja saya merasa tidak nyaman karena dia melihat saya tidak ada yang berubah. Padahal untuk bisa survive seperti sekarang, bagi saya merupakan prubahan yang luar biasa. Tapi saya tetap berharap bahwa maksud teman saya adalah memotivasi saya, bukan tidak menghargai apa yang telah saya capai.
Meski begitu, saya tetap berusaha mencari hikmah dari pertemuan yang berharga tersebut. Karena saya meyakini bahwa setiap peristiwa selalu saja memberikan pelajaran hidup buat kita. Termasuk pertemuan kecil yang saya ceritakan di atas. Salah satu pelajaran yang saya dapat, sebagian besar orang ternyata menganggap kemiskinan memang sangat memalukan. Di sisi lain, setiap kita mempercayai bahwa kemiskinan bisa menjadi ujian atau juga hukuman. Kita juga memahami bahwa kesabaran dan keikhlasan kunci untuk menerima ujian yang Allah berikan kepada kita.
Ternyata saya mendapat pelajaran bahwa kita harus mempunyai mental dan kesiapan untuk berjuang hidup dan berani hidup. Karena kemajuan teknologi dan peradaban manusia kadang-kadang menafikan sunatullah. Kita akan sulit mengukur kekayaan seseorang kalau tidak karena adanya kemiskinan. Kita juga akan sulit mengukur tingkat cahaya di suatu tempat kalau tidak karena adanya gelap. Begitulah ketentuannya, kehidupan memang berpasangan dan bersifat kontradiktif.
Jadi, bersiap-siap secara mental untuk ‘menikmati’ kemiskinan menjadi jauh lebih penting dari pada berkhayal tentang kekayaan. Semakin siap mental seseorang menikmati ketidakberadaan, maka semakin memperjelas kualitas hidup seseorang. Bahkan, semakin mempertegas pencapaian keberhasilan seseorang terhadap tujuannya yang hakiki. Kesiapan mental itulah yang semakin mendekatkan manusia kepada Robb, yang menjadi Penguasa bagi seluruh alam.
Saya teringat pesan orang tua dulu, lebih baik menangis di masa muda untuk tersenyum di masa tua. Dari pada tersenyum di masa muda dan menangis di masa tua. Menikmati ketidakberadaan memang butuh perjuangan dan keberanian. Dan kembali kepada kuncinya SABAR dan IKHLAS. Sehingga, kemiskinan bukan sesuatu yang memalukan tetapi sesuatu yang harus dinikmati. Begitu pun kekayaan bukan sesuatu yang harus dibanggakan karena setiap saat Allah Maha Berkehendak, termasuk mengambilnya kembali… Wallahu a’lam bishshawab.

Kang Syaichu

Rabu, 15 Juni 2011

Cerita Singkat



Sesaat sebelum Upacara Bendera
 
Pagi itu, seperti biasa saya sudah hadir pagi-pagi karena bersiap menjadi Pembina Upacara dalam Apel Senin. Saya meminta para pengurus OSIS untuk menyiapkan perlengkapan upacara, termasuk sound system. Kebetulan tape deck yang biasa digunakan sebagai sound system sedang diperbaiki, jadi terpaksa menggunakan cadangan membrane speaker. Anak-anak biasa menyebut alat itu TOA (padahal merek).
Setelah semua terpasang, saya coba mengontrol kesiapan yang sudah dilakukan oleh pengurus OSIS. Biasanya dilakukan 15 – 30 menit sebelum bel tanda upacara berbunyi. Mang Pii, penjaga sekolah, terlihat sedang membersihkan halaman setiap kelas sebelum oleh siswa digunakan. Tiba-tiba, Mang Pii mendekati mic yang sudah terpasang dan mengambilnya. Kemudian berbicara melalui mic yang sudah siap pakai dengan lantang.
“ Hayoooooh!!! Pada mabok gadung kabeh yah!” katanya berkali-kali dengan lantang sekali.
Saya hanya tertawa saja, karena orang tua ini memang suka melucu. Dan saya menganggap kejadian biasa saja. Kemudian bel panjang berbunyi tanda upacara siap dimulai. Dan upacara pun berjalan lancar seperti biasa.
Setelah upacara selesai, sebagai Pembina Upacara, saya lebih dulu meninggalkan lapangan upacara dan langsung menunju ruangan guru. Sampai di ruang guru, saya melihat pak Ghozali sedang tertawa terbahak dengan rekan guru yang lain. Saya masih belum mengerti, topik pembiacaraan apa yang menyebabkan dia begitu tergelak. Kemudian, pak Ghozali menjelaskan pada saya.
“ Jang…(begitu dia biasa memanggil saya) ngerti nggak maksud mang Pii bicara lantang di mic tadi pagi? “ tanyanya.
“ Nggak…pak” jawab saya jujur.
Kemudian pak Ghozali menjelaskan semua kepada saya. Setelah saya paham, saya pun tidak bias menahan tawa bahkan ikut terbahak-bahak.
Ternyata, apa yang disampaikan mang Pii itu sebenarnya sedang menyindir guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang kebetulan bersebelahan dengan Madrasah Aliyah Pesantren. Selain itu dia juga menyindir banyak orang di sekitar rumahnya.
Kejadiannya adalah pada hari Sabtu, dua hari sebelum upacara pagi itu, murid-murid kelas VI MI sedang praktek keterampilan memasak. Mereka berkelompok untuk mempersiapkan masakannya masing-masing untuk dinilai oleh guru keterampilan. Naasnya, ada satu kelompok yang memasak sayur asam yang dicampur dengan Gadung (semacam ubi rambat yang beracun dan untuk dikonsumsinya harus disamak dulu agar hilang racunnya). Biasanya proses racunnya tidak langsung terasa tapi cukup lama.
Masalahnya, justru guru-guru MI banyak menyantap sayur beracun itu karena rasanya dianggap paling lumayan. Bahkan, karena berlebih sayur naas itu diberikan kepada mbok Mar yang tidak lain istri mang Pii yang punya warung makan. Lebih naas lagi, sayur itu dibagikan juga kepada beberapa tetangga mbok Mar. Nah, pada sore harinya terjadilah mendem (mabok karena racun tanaman seperti jamur, ubi dll) secara massal. Termasuk juga guru-guru MI yang mengkonsumsi sayur asam itu. Mereka semua baru pulih dari mendem sehari setelahnya (Minggu sore).
Jadi itulah alasan kenapa mang Pii berbicara lantang di membrane speaker keras-keras. Saya jadi tertawa sendiri kalau ingat cerita itu dari pak Ghozali.

Kang Syaichu

Senin, 23 Mei 2011

Fenomena Briptu Norman


Fenomena Briptu Norman dan Budaya Kita
Akhir-akhir ini orang-orang ramai memperbincangkan tentang Briptu Norman. Pro dan kotra terus berlanjut, bahkan ada kecenderungan sudah masuk ke wilayah pribadi sang anggota Brimod tersebut. Seperti biasa, dengan segala argument masing-masing menyorotinya dari berbagai sudut, termasuk sudut budaya. Salah satu pendapat yang menarik adalah fenomena Chaiya-chaiya Briptu Norman menunjukkan bahwa kita seperti kehilangan jati diri bangsa. Kita mengagung-agungkan budaya bangsa lain. Sementara, kita dianggap melupakan warisan budaya leluhur kita sendiri. Sebenarnya pendapat tersebut sah-sah saja di tengah-tengah suasana kebebasan berpendapat yang sedemikian terbuka ini. Masalah sebenarnya bukan pada benarkah masyarakat telah kehilangan kebanggaan terhadap budaya kita sendiri. Tetapi, apakah memang budaya kita mendapat ruang pengembangan yang proporsional? Suka tidak suka, ruang pengembangan budaya masyarakat belum proporsional. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan pengembangan budaya dalam kebijakannya sama sekali belum menyentuh secara signifikan pembangunan budaya kita. Kebijakan yang ada sebatas menjaga apa yang telah “jadi” dan sangat menonjol di masyarakat kita maupun di luar negeri. Selebihnya, menjadi tanggung jawab masyarakat untuk mengembangkannya. Sementara, kondisi sebagian besar masyarakat kita saat ini, kebutuhan dan perhatian akan pengembangan budaya masih merupakan kebutuhan lux. Bagi mereka memenuhi kebutuhan primer saja masih harus berjuang mati-matian untuk meraihnya.
Di sisi yang lain, budaya luhur yang begitu mendasar yang harus dimiliki oleh setiap inividu, seperti kejujuran, malu, dan taat aturan/norma semakin ditinggalkan. Ironisnya lagi, figur-figur yang seharusnya menjadi teladan seperti pejabat publik, wakil rakyat, dan para pesohor kita seperti berlomba saling mendahului untuk meninggalkannya. Bahkan nyaris setiap saat hadir di ruangan kita pemberitaan tentang upaya merendahkan dan meninggalkan budaya tersebut. Sehingga menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat kecil di tengah kejenuhan adalah mencari figur lain yang sanggup mengobati kejenuhan dan kebuntuan.
Oleh sebab itulah kehadiran Briptu Norman bak setetes air di tengah gurun. Asal-usulnya, pangkatnya, kepolosannya dan prosesnya menjadi selebriti dadakan adalah obat bagi dahaga masyarakat akan kebutuhan hiburan. Kehadirannya sanggup melupakan perilaku para oknum pejabat yang kehilangan budaya malu dan kasus-kasus korupsi yang susul menyusul. Selebritas Briptu Norman seperti mewakili “kemenangan” budaya wong cilik.
Jadi, fenomena Briptu norman hakikatnya sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi perkembangan budaya kita. Kehadirannya tidak lebih sekedar obat untuk sejenak melupakan beban yang kian hari kian menghimpit. Ada fenomena lain yang jauh lebih memprihatinkan, bagaimana menguatkan kembali budaya malu, kejujuran, dan taat aturan/norma. Dan fenomena ini jauh lebih sulit dihapuskan karena dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial “terhormat”. (16/11/2011)

Kang Syaichu

Rabu, 16 Maret 2011

Mengenal Soichiro Honda



The Owner of Honda
 
"Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", Soichiro Honda

Pernakah Anda tahu, sang pendiri "kerajaan" Honda - Soichiro Honda – sebelum sukses diraihnya ia banyak mengalami kegagalan? Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. "Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda," tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.
Kecintaannya kepada mesin, mungkin 'warisan' dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya.

Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah - pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan

pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. "Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya," ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat.

Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947, setelah perang Jepang kekurangan bensin.

Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, "sepeda motor" – cikal bakal lahirnya mobil Honda - itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi "raja" jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. "Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru. Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.


5 Resep keberhasilan Honda :

* Selalu berambisi dan berjiwa muda.
* Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
* Senangi pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja senyaman mungkin.
* Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
* Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.
Sumber : awalsholeh.blogspot.com

Jumat, 04 Maret 2011

Sepak Bola Kita

Sepak Bola Nasional yang Bikin Stress
 
Menyimak hingar bingar pemilihan ketua umum PSSI, jadi ikut stress. Padahal olah raga, apalagi sepak bola hakikatnya di samping untuk kesehatan fisik tetapi juga untuk kesehatan rohani. Sepak bola saat ini telah menjadi sarana pemenuhan kebutuhan rohani. Banyak aspek yang mendukung untuk menunjang kebutuhan rohani kita, hiburan, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, nasionalisme dan sebagainya.
Tetapi, di negeri tempat kita hidup, kalau kita mengikuti terus perkembangan sepak bola kita malah sebaliknya. Sepak bola nasional telah menjadi penyumbang stress yang efektif sekaligus menurunkan kecerdasan intelektual dan emosi. Setiap saat kita disuguhkan dagelan yang menurunkan dan merendahkan martabat. Seolah-olah kita hanya sebagai penonton yang sesekali bersorak atau kecewa menahan nafas karena kekalahan. Yang lebih lucu lagi, bukan pemain bola yang memainkan dagelan itu, tetapi para pengurusnya. Prestasi dan sportifitas hanya dongeng dari sebuah visi misi. Lebih naïf lagi, tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas carut marut ini. Semua merasa benar, maknanya public yang salah, aneh kan?.
Kita semua cemas, jangan-jangan Negara memang menjelang bangkrut. Jangankan mengurusi peliknya kesulitan yang dialami masyarakat secara keseluruhan, ‘ngurusi’ bola yang bisa melepaskan kepenatan masyarakat dari beban yang terus menghimpit saja, sudah sulit didapat.
Kemarin sore, saya ‘tambah nganggur’ melihat anak-anak main bola di lapangan desa. Mereka begitu semangatnya, bahkan masing-masing anak memainkan dirinya sebagai idola mereka. Ada yang mengaku sebagai Christian Gonzales, Irfan Bachdim, atau Eka Ramdani. Termasuk menirukan gaya mereka saat merayakan gol ke gawang lawan. Saya jadi tersenyum sendiri melihat keceriaan mereka, tetapi sekaligus kecewa. Sebab mereka belum paham bahwa sepak bola nasional kebanggaannya sedang kronis. Kalau saja mereka tahu ruwetnya perkembangan sepak bola kita. Jangan-jangan akan berubah benci terhadap sepak bola. Mudah-mudahan tidak seburuk itu dampaknya.
Okelah kalau begitu….!!!!, yang penting harapan tidak boleh mati. Sepak bola nasional milik kita semua. Dan kita semua berhak mendapatkan yang terbaik dari perkembangan sepak bola kita. Kita nggak perlu perlu tersinggung kalau Negara tetangga mentertawakan kita, karena kita mungkin pantas untuk ditertawakan. So, masing-masing kita, introspeksi diri saja, mudah-mudahan sepak bola kembali pada fungsi yang sebenarnya, amiin.
Kang Ujang