Kang Syaichu

Motivation to Learn

Kamis, 30 Juni 2011



Menikmati Ketidakberadaan
Beberapa waktu yang lalu, saya ketemu dengan teman lama waktu SMA. Dari penampilannya dia terlihat cukup sukses. Setidaknya, terlihat dari mobil yang dia pakai, merk terkenal dan keluaran terbaru. Karena lama tidak bertemu, jadilah nostalgia berulang dari cerita kami berdua. Termasuk menceritakan keberhasilan dia sampai saat ini. Ternyata, dia berbisnis jual beli mobil. Usahanya semakin berkembang pesat karena juga didukung banyak lembaga keuangan. Sebagai teman saya bangga melihat keberhasilannya, karena berharap bisa menjadi motivasi bagi saya ke depan. Namun, pada akhir pembicaraan kami, saya agak tidak nyaman dengan apa yang dia ucapkan kepada saya.
“Ayo….dong bangkit usaha, masa nggak bosan hidup miskin terus… Orang lain sudah mulai berpikir bagaimana (maaf) kotoran bisa jadi uang, kamu…begitu-begitu aja..hahaha”. katanya berseloroh.
“ Ya doanya saja lah, siapa sih yang nggak ingin kaya….” Jawab saya.
Sebenarnya apa yang teman saya sampaikan tidak ada yang salah. Hanya saja saya merasa tidak nyaman karena dia melihat saya tidak ada yang berubah. Padahal untuk bisa survive seperti sekarang, bagi saya merupakan prubahan yang luar biasa. Tapi saya tetap berharap bahwa maksud teman saya adalah memotivasi saya, bukan tidak menghargai apa yang telah saya capai.
Meski begitu, saya tetap berusaha mencari hikmah dari pertemuan yang berharga tersebut. Karena saya meyakini bahwa setiap peristiwa selalu saja memberikan pelajaran hidup buat kita. Termasuk pertemuan kecil yang saya ceritakan di atas. Salah satu pelajaran yang saya dapat, sebagian besar orang ternyata menganggap kemiskinan memang sangat memalukan. Di sisi lain, setiap kita mempercayai bahwa kemiskinan bisa menjadi ujian atau juga hukuman. Kita juga memahami bahwa kesabaran dan keikhlasan kunci untuk menerima ujian yang Allah berikan kepada kita.
Ternyata saya mendapat pelajaran bahwa kita harus mempunyai mental dan kesiapan untuk berjuang hidup dan berani hidup. Karena kemajuan teknologi dan peradaban manusia kadang-kadang menafikan sunatullah. Kita akan sulit mengukur kekayaan seseorang kalau tidak karena adanya kemiskinan. Kita juga akan sulit mengukur tingkat cahaya di suatu tempat kalau tidak karena adanya gelap. Begitulah ketentuannya, kehidupan memang berpasangan dan bersifat kontradiktif.
Jadi, bersiap-siap secara mental untuk ‘menikmati’ kemiskinan menjadi jauh lebih penting dari pada berkhayal tentang kekayaan. Semakin siap mental seseorang menikmati ketidakberadaan, maka semakin memperjelas kualitas hidup seseorang. Bahkan, semakin mempertegas pencapaian keberhasilan seseorang terhadap tujuannya yang hakiki. Kesiapan mental itulah yang semakin mendekatkan manusia kepada Robb, yang menjadi Penguasa bagi seluruh alam.
Saya teringat pesan orang tua dulu, lebih baik menangis di masa muda untuk tersenyum di masa tua. Dari pada tersenyum di masa muda dan menangis di masa tua. Menikmati ketidakberadaan memang butuh perjuangan dan keberanian. Dan kembali kepada kuncinya SABAR dan IKHLAS. Sehingga, kemiskinan bukan sesuatu yang memalukan tetapi sesuatu yang harus dinikmati. Begitu pun kekayaan bukan sesuatu yang harus dibanggakan karena setiap saat Allah Maha Berkehendak, termasuk mengambilnya kembali… Wallahu a’lam bishshawab.

Kang Syaichu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 30 Juni 2011



Menikmati Ketidakberadaan
Beberapa waktu yang lalu, saya ketemu dengan teman lama waktu SMA. Dari penampilannya dia terlihat cukup sukses. Setidaknya, terlihat dari mobil yang dia pakai, merk terkenal dan keluaran terbaru. Karena lama tidak bertemu, jadilah nostalgia berulang dari cerita kami berdua. Termasuk menceritakan keberhasilan dia sampai saat ini. Ternyata, dia berbisnis jual beli mobil. Usahanya semakin berkembang pesat karena juga didukung banyak lembaga keuangan. Sebagai teman saya bangga melihat keberhasilannya, karena berharap bisa menjadi motivasi bagi saya ke depan. Namun, pada akhir pembicaraan kami, saya agak tidak nyaman dengan apa yang dia ucapkan kepada saya.
“Ayo….dong bangkit usaha, masa nggak bosan hidup miskin terus… Orang lain sudah mulai berpikir bagaimana (maaf) kotoran bisa jadi uang, kamu…begitu-begitu aja..hahaha”. katanya berseloroh.
“ Ya doanya saja lah, siapa sih yang nggak ingin kaya….” Jawab saya.
Sebenarnya apa yang teman saya sampaikan tidak ada yang salah. Hanya saja saya merasa tidak nyaman karena dia melihat saya tidak ada yang berubah. Padahal untuk bisa survive seperti sekarang, bagi saya merupakan prubahan yang luar biasa. Tapi saya tetap berharap bahwa maksud teman saya adalah memotivasi saya, bukan tidak menghargai apa yang telah saya capai.
Meski begitu, saya tetap berusaha mencari hikmah dari pertemuan yang berharga tersebut. Karena saya meyakini bahwa setiap peristiwa selalu saja memberikan pelajaran hidup buat kita. Termasuk pertemuan kecil yang saya ceritakan di atas. Salah satu pelajaran yang saya dapat, sebagian besar orang ternyata menganggap kemiskinan memang sangat memalukan. Di sisi lain, setiap kita mempercayai bahwa kemiskinan bisa menjadi ujian atau juga hukuman. Kita juga memahami bahwa kesabaran dan keikhlasan kunci untuk menerima ujian yang Allah berikan kepada kita.
Ternyata saya mendapat pelajaran bahwa kita harus mempunyai mental dan kesiapan untuk berjuang hidup dan berani hidup. Karena kemajuan teknologi dan peradaban manusia kadang-kadang menafikan sunatullah. Kita akan sulit mengukur kekayaan seseorang kalau tidak karena adanya kemiskinan. Kita juga akan sulit mengukur tingkat cahaya di suatu tempat kalau tidak karena adanya gelap. Begitulah ketentuannya, kehidupan memang berpasangan dan bersifat kontradiktif.
Jadi, bersiap-siap secara mental untuk ‘menikmati’ kemiskinan menjadi jauh lebih penting dari pada berkhayal tentang kekayaan. Semakin siap mental seseorang menikmati ketidakberadaan, maka semakin memperjelas kualitas hidup seseorang. Bahkan, semakin mempertegas pencapaian keberhasilan seseorang terhadap tujuannya yang hakiki. Kesiapan mental itulah yang semakin mendekatkan manusia kepada Robb, yang menjadi Penguasa bagi seluruh alam.
Saya teringat pesan orang tua dulu, lebih baik menangis di masa muda untuk tersenyum di masa tua. Dari pada tersenyum di masa muda dan menangis di masa tua. Menikmati ketidakberadaan memang butuh perjuangan dan keberanian. Dan kembali kepada kuncinya SABAR dan IKHLAS. Sehingga, kemiskinan bukan sesuatu yang memalukan tetapi sesuatu yang harus dinikmati. Begitu pun kekayaan bukan sesuatu yang harus dibanggakan karena setiap saat Allah Maha Berkehendak, termasuk mengambilnya kembali… Wallahu a’lam bishshawab.

Kang Syaichu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar