Kang Syaichu

Motivation to Learn

Rabu, 16 Maret 2011

Mengenal Soichiro Honda



The Owner of Honda
 
"Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", Soichiro Honda

Pernakah Anda tahu, sang pendiri "kerajaan" Honda - Soichiro Honda – sebelum sukses diraihnya ia banyak mengalami kegagalan? Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. "Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda," tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.
Kecintaannya kepada mesin, mungkin 'warisan' dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya.

Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah - pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan

pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. "Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya," ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat.

Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947, setelah perang Jepang kekurangan bensin.

Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, "sepeda motor" – cikal bakal lahirnya mobil Honda - itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi "raja" jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. "Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru. Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.


5 Resep keberhasilan Honda :

* Selalu berambisi dan berjiwa muda.
* Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
* Senangi pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja senyaman mungkin.
* Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
* Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.
Sumber : awalsholeh.blogspot.com

Baca seterusnya......

Jumat, 04 Maret 2011

Sepak Bola Kita

Sepak Bola Nasional yang Bikin Stress
 
Menyimak hingar bingar pemilihan ketua umum PSSI, jadi ikut stress. Padahal olah raga, apalagi sepak bola hakikatnya di samping untuk kesehatan fisik tetapi juga untuk kesehatan rohani. Sepak bola saat ini telah menjadi sarana pemenuhan kebutuhan rohani. Banyak aspek yang mendukung untuk menunjang kebutuhan rohani kita, hiburan, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, nasionalisme dan sebagainya.
Tetapi, di negeri tempat kita hidup, kalau kita mengikuti terus perkembangan sepak bola kita malah sebaliknya. Sepak bola nasional telah menjadi penyumbang stress yang efektif sekaligus menurunkan kecerdasan intelektual dan emosi. Setiap saat kita disuguhkan dagelan yang menurunkan dan merendahkan martabat. Seolah-olah kita hanya sebagai penonton yang sesekali bersorak atau kecewa menahan nafas karena kekalahan. Yang lebih lucu lagi, bukan pemain bola yang memainkan dagelan itu, tetapi para pengurusnya. Prestasi dan sportifitas hanya dongeng dari sebuah visi misi. Lebih naïf lagi, tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas carut marut ini. Semua merasa benar, maknanya public yang salah, aneh kan?.
Kita semua cemas, jangan-jangan Negara memang menjelang bangkrut. Jangankan mengurusi peliknya kesulitan yang dialami masyarakat secara keseluruhan, ‘ngurusi’ bola yang bisa melepaskan kepenatan masyarakat dari beban yang terus menghimpit saja, sudah sulit didapat.
Kemarin sore, saya ‘tambah nganggur’ melihat anak-anak main bola di lapangan desa. Mereka begitu semangatnya, bahkan masing-masing anak memainkan dirinya sebagai idola mereka. Ada yang mengaku sebagai Christian Gonzales, Irfan Bachdim, atau Eka Ramdani. Termasuk menirukan gaya mereka saat merayakan gol ke gawang lawan. Saya jadi tersenyum sendiri melihat keceriaan mereka, tetapi sekaligus kecewa. Sebab mereka belum paham bahwa sepak bola nasional kebanggaannya sedang kronis. Kalau saja mereka tahu ruwetnya perkembangan sepak bola kita. Jangan-jangan akan berubah benci terhadap sepak bola. Mudah-mudahan tidak seburuk itu dampaknya.
Okelah kalau begitu….!!!!, yang penting harapan tidak boleh mati. Sepak bola nasional milik kita semua. Dan kita semua berhak mendapatkan yang terbaik dari perkembangan sepak bola kita. Kita nggak perlu perlu tersinggung kalau Negara tetangga mentertawakan kita, karena kita mungkin pantas untuk ditertawakan. So, masing-masing kita, introspeksi diri saja, mudah-mudahan sepak bola kembali pada fungsi yang sebenarnya, amiin.
Kang Ujang

Baca seterusnya......

Rabu, 16 Maret 2011

Mengenal Soichiro Honda



The Owner of Honda
 
"Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", Soichiro Honda

Pernakah Anda tahu, sang pendiri "kerajaan" Honda - Soichiro Honda – sebelum sukses diraihnya ia banyak mengalami kegagalan? Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. "Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan sepeda," tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.
Kecintaannya kepada mesin, mungkin 'warisan' dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat kelahiran Soichiro Honda. Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya.

Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri berjam-jam. Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah - pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan

pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. "Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya," ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Honda tidak patah semangat.

Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947, setelah perang Jepang kekurangan bensin.

Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, "sepeda motor" – cikal bakal lahirnya mobil Honda - itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi "raja" jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. "Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya", tuturnya. Ia memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru. Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.


5 Resep keberhasilan Honda :

* Selalu berambisi dan berjiwa muda.
* Hargailah teori yang sehat, temukan gagasan baru, khususkan waktu memperbaiki produksi.
* Senangi pekerjaan Anda dan usahakan buat kondisi kerja senyaman mungkin.
* Carilah irama kerja yang lancar dan harmonis.
* Selalu ingat pentingnya penelitian dan kerja sama.
Sumber : awalsholeh.blogspot.com

Jumat, 04 Maret 2011

Sepak Bola Kita

Sepak Bola Nasional yang Bikin Stress
 
Menyimak hingar bingar pemilihan ketua umum PSSI, jadi ikut stress. Padahal olah raga, apalagi sepak bola hakikatnya di samping untuk kesehatan fisik tetapi juga untuk kesehatan rohani. Sepak bola saat ini telah menjadi sarana pemenuhan kebutuhan rohani. Banyak aspek yang mendukung untuk menunjang kebutuhan rohani kita, hiburan, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, nasionalisme dan sebagainya.
Tetapi, di negeri tempat kita hidup, kalau kita mengikuti terus perkembangan sepak bola kita malah sebaliknya. Sepak bola nasional telah menjadi penyumbang stress yang efektif sekaligus menurunkan kecerdasan intelektual dan emosi. Setiap saat kita disuguhkan dagelan yang menurunkan dan merendahkan martabat. Seolah-olah kita hanya sebagai penonton yang sesekali bersorak atau kecewa menahan nafas karena kekalahan. Yang lebih lucu lagi, bukan pemain bola yang memainkan dagelan itu, tetapi para pengurusnya. Prestasi dan sportifitas hanya dongeng dari sebuah visi misi. Lebih naïf lagi, tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas carut marut ini. Semua merasa benar, maknanya public yang salah, aneh kan?.
Kita semua cemas, jangan-jangan Negara memang menjelang bangkrut. Jangankan mengurusi peliknya kesulitan yang dialami masyarakat secara keseluruhan, ‘ngurusi’ bola yang bisa melepaskan kepenatan masyarakat dari beban yang terus menghimpit saja, sudah sulit didapat.
Kemarin sore, saya ‘tambah nganggur’ melihat anak-anak main bola di lapangan desa. Mereka begitu semangatnya, bahkan masing-masing anak memainkan dirinya sebagai idola mereka. Ada yang mengaku sebagai Christian Gonzales, Irfan Bachdim, atau Eka Ramdani. Termasuk menirukan gaya mereka saat merayakan gol ke gawang lawan. Saya jadi tersenyum sendiri melihat keceriaan mereka, tetapi sekaligus kecewa. Sebab mereka belum paham bahwa sepak bola nasional kebanggaannya sedang kronis. Kalau saja mereka tahu ruwetnya perkembangan sepak bola kita. Jangan-jangan akan berubah benci terhadap sepak bola. Mudah-mudahan tidak seburuk itu dampaknya.
Okelah kalau begitu….!!!!, yang penting harapan tidak boleh mati. Sepak bola nasional milik kita semua. Dan kita semua berhak mendapatkan yang terbaik dari perkembangan sepak bola kita. Kita nggak perlu perlu tersinggung kalau Negara tetangga mentertawakan kita, karena kita mungkin pantas untuk ditertawakan. So, masing-masing kita, introspeksi diri saja, mudah-mudahan sepak bola kembali pada fungsi yang sebenarnya, amiin.
Kang Ujang