Kang Syaichu

Motivation to Learn

Senin, 23 Mei 2011

Fenomena Briptu Norman


Fenomena Briptu Norman dan Budaya Kita
Akhir-akhir ini orang-orang ramai memperbincangkan tentang Briptu Norman. Pro dan kotra terus berlanjut, bahkan ada kecenderungan sudah masuk ke wilayah pribadi sang anggota Brimod tersebut. Seperti biasa, dengan segala argument masing-masing menyorotinya dari berbagai sudut, termasuk sudut budaya. Salah satu pendapat yang menarik adalah fenomena Chaiya-chaiya Briptu Norman menunjukkan bahwa kita seperti kehilangan jati diri bangsa. Kita mengagung-agungkan budaya bangsa lain. Sementara, kita dianggap melupakan warisan budaya leluhur kita sendiri. Sebenarnya pendapat tersebut sah-sah saja di tengah-tengah suasana kebebasan berpendapat yang sedemikian terbuka ini. Masalah sebenarnya bukan pada benarkah masyarakat telah kehilangan kebanggaan terhadap budaya kita sendiri. Tetapi, apakah memang budaya kita mendapat ruang pengembangan yang proporsional? Suka tidak suka, ruang pengembangan budaya masyarakat belum proporsional. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan pengembangan budaya dalam kebijakannya sama sekali belum menyentuh secara signifikan pembangunan budaya kita. Kebijakan yang ada sebatas menjaga apa yang telah “jadi” dan sangat menonjol di masyarakat kita maupun di luar negeri. Selebihnya, menjadi tanggung jawab masyarakat untuk mengembangkannya. Sementara, kondisi sebagian besar masyarakat kita saat ini, kebutuhan dan perhatian akan pengembangan budaya masih merupakan kebutuhan lux. Bagi mereka memenuhi kebutuhan primer saja masih harus berjuang mati-matian untuk meraihnya.
Di sisi yang lain, budaya luhur yang begitu mendasar yang harus dimiliki oleh setiap inividu, seperti kejujuran, malu, dan taat aturan/norma semakin ditinggalkan. Ironisnya lagi, figur-figur yang seharusnya menjadi teladan seperti pejabat publik, wakil rakyat, dan para pesohor kita seperti berlomba saling mendahului untuk meninggalkannya. Bahkan nyaris setiap saat hadir di ruangan kita pemberitaan tentang upaya merendahkan dan meninggalkan budaya tersebut. Sehingga menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat kecil di tengah kejenuhan adalah mencari figur lain yang sanggup mengobati kejenuhan dan kebuntuan.
Oleh sebab itulah kehadiran Briptu Norman bak setetes air di tengah gurun. Asal-usulnya, pangkatnya, kepolosannya dan prosesnya menjadi selebriti dadakan adalah obat bagi dahaga masyarakat akan kebutuhan hiburan. Kehadirannya sanggup melupakan perilaku para oknum pejabat yang kehilangan budaya malu dan kasus-kasus korupsi yang susul menyusul. Selebritas Briptu Norman seperti mewakili “kemenangan” budaya wong cilik.
Jadi, fenomena Briptu norman hakikatnya sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi perkembangan budaya kita. Kehadirannya tidak lebih sekedar obat untuk sejenak melupakan beban yang kian hari kian menghimpit. Ada fenomena lain yang jauh lebih memprihatinkan, bagaimana menguatkan kembali budaya malu, kejujuran, dan taat aturan/norma. Dan fenomena ini jauh lebih sulit dihapuskan karena dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial “terhormat”. (16/11/2011)

Kang Syaichu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 23 Mei 2011

Fenomena Briptu Norman


Fenomena Briptu Norman dan Budaya Kita
Akhir-akhir ini orang-orang ramai memperbincangkan tentang Briptu Norman. Pro dan kotra terus berlanjut, bahkan ada kecenderungan sudah masuk ke wilayah pribadi sang anggota Brimod tersebut. Seperti biasa, dengan segala argument masing-masing menyorotinya dari berbagai sudut, termasuk sudut budaya. Salah satu pendapat yang menarik adalah fenomena Chaiya-chaiya Briptu Norman menunjukkan bahwa kita seperti kehilangan jati diri bangsa. Kita mengagung-agungkan budaya bangsa lain. Sementara, kita dianggap melupakan warisan budaya leluhur kita sendiri. Sebenarnya pendapat tersebut sah-sah saja di tengah-tengah suasana kebebasan berpendapat yang sedemikian terbuka ini. Masalah sebenarnya bukan pada benarkah masyarakat telah kehilangan kebanggaan terhadap budaya kita sendiri. Tetapi, apakah memang budaya kita mendapat ruang pengembangan yang proporsional? Suka tidak suka, ruang pengembangan budaya masyarakat belum proporsional. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan pengembangan budaya dalam kebijakannya sama sekali belum menyentuh secara signifikan pembangunan budaya kita. Kebijakan yang ada sebatas menjaga apa yang telah “jadi” dan sangat menonjol di masyarakat kita maupun di luar negeri. Selebihnya, menjadi tanggung jawab masyarakat untuk mengembangkannya. Sementara, kondisi sebagian besar masyarakat kita saat ini, kebutuhan dan perhatian akan pengembangan budaya masih merupakan kebutuhan lux. Bagi mereka memenuhi kebutuhan primer saja masih harus berjuang mati-matian untuk meraihnya.
Di sisi yang lain, budaya luhur yang begitu mendasar yang harus dimiliki oleh setiap inividu, seperti kejujuran, malu, dan taat aturan/norma semakin ditinggalkan. Ironisnya lagi, figur-figur yang seharusnya menjadi teladan seperti pejabat publik, wakil rakyat, dan para pesohor kita seperti berlomba saling mendahului untuk meninggalkannya. Bahkan nyaris setiap saat hadir di ruangan kita pemberitaan tentang upaya merendahkan dan meninggalkan budaya tersebut. Sehingga menjadi pilihan yang rasional bagi masyarakat kecil di tengah kejenuhan adalah mencari figur lain yang sanggup mengobati kejenuhan dan kebuntuan.
Oleh sebab itulah kehadiran Briptu Norman bak setetes air di tengah gurun. Asal-usulnya, pangkatnya, kepolosannya dan prosesnya menjadi selebriti dadakan adalah obat bagi dahaga masyarakat akan kebutuhan hiburan. Kehadirannya sanggup melupakan perilaku para oknum pejabat yang kehilangan budaya malu dan kasus-kasus korupsi yang susul menyusul. Selebritas Briptu Norman seperti mewakili “kemenangan” budaya wong cilik.
Jadi, fenomena Briptu norman hakikatnya sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi perkembangan budaya kita. Kehadirannya tidak lebih sekedar obat untuk sejenak melupakan beban yang kian hari kian menghimpit. Ada fenomena lain yang jauh lebih memprihatinkan, bagaimana menguatkan kembali budaya malu, kejujuran, dan taat aturan/norma. Dan fenomena ini jauh lebih sulit dihapuskan karena dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial “terhormat”. (16/11/2011)

Kang Syaichu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar